A. Pendahuluan
Dunia pendidikan memang
tidak bisa kita pisahkan dari istilah kecerdasan. Karena pada umumnya, setelah
melalui sebuah pendidikan diharapkan seseorang akan mengalami peningkatan
kecerdasan yang hal ini bisa menunjukkan keberhasilan dari sebuah proses
pendidikan. Kecerdasan seseorang selama ini sering diidentikan dengan nilai
atau skor hasil tes IQ yang tinggi. Misalnya, anak yang memiliki IQ 135
pastilah lebih cerdas daripada anak yang memiliki IQ 115.
Kecerdasan Intelektual
atau rasional yang diperkenalkan oleh Lewis Terman di awal abad ke-20
sebenarnya hanya digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun pemikiran
strategis lainnya. Kecerdasan intelektual ini dianggap begitu penting karena
lebih bertumpu pada akal manusia. Tetapi jika kecerdasan ini ingin kita kaitkan
dengan konteks yang lebih luas, maka pengertian inteligensi ini haruslah kita
relatifkan lagi.
Oleh karena itulah
dalam makalah ini, penulis akan mencoba mengutip beberapa pengertian dan
pemahaman baru tentang inteligensi yang ternyata memang tidak hanya ada satu
macam. Kemudian akan dibahas juga mengenai aplikasi macam-macam intelegensi
tersebut dalam dunia pendidikan khususnya proses pembelajaran.
B. Pengertian Inteligensi
Seringkali kita menghubungkan antara kecerdasan atau
inteligensi tinggi dengan buku-buku, kaum intelektual dan akademik. Tetapi
menurut Thomas Armstrong, kecerdasan adalah tidaklah hanya sebatas itu, tetapi
suatu kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari
masa lalu seseorang. Kecerdasan bukanlah sesuatu di otak yang hanya dapat
diukur dengan tes IQ atau hal yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu
saja yang beruntung. Tetapi kecerdasan itu dapat ditemukan dalam semua sisi
kehidupan.
Inteligensi berasal dari kata latin yaitu intelligere yang
berarti mengorganisasikan, menghubungkan, atau menyatukan satu dengan yang lain
(to organize, to relate, to bind together). Dalam bahasa Arab disebut al
Dzaka’ yang artinya pemahaman, kecepatan dan kesempurnaan sesuatu. Hal ini
berhubungan erat dengan kemampuan (al Qudrah) dalam memahami sesuatu
secara cepat dan sempurna.
Hegenhan dan Oslon mengungkapkan pendapat Piaget tentang
kecerdasan sebagaimana yang dikutip oleh Hamzah, “An intelligent act is one
cause an approximation to the conditions optimal for an organism’s survival. In
other word’s, intelligence allow an organism to deal effectively with its
environment”. Inteligensi merupakan tindakan yang menyebabkan terjadinya
perhitungan atas kondisi-kondisi yang secara optimal yang berhubungan dengan
lingkungan secara efektif sehingga bisa bertahan hidup dalam kondisi yang ada.
Hamzah juga mengutip pendapat ahli psikologi lainnya. Antara
lain, Feldam yang mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan memahami dunia,
berpikir secara rasional, dan menggunakan sumber-sumber secara efektif pada
saat dihadapkan dengan tantangan. Henmon mengartikan kecerdasan sebagai daya
atau kemampuan untuk memahami. Sedangkan Wechsles mendefinisikan inteligensi
sebagai totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu,
berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan dengan efektif.
Menurut Alfred Binet sebagaimana yang dikutip oleh Safaria,
bahwa komponen dalam inteligensi adalah sebagai berikut.
1.
Kemampuan untuk mengarahkan
pikiran atau mengarahkan tindakan, artinya individu mampu menetapkan tujuan
yang ingin dicapainya (goal-setting).
2.
Kemampuan untuk mengubah arah
tindakan apabila tindakan tersebut telah dilaksanakan (bila dituntut demikian),
artinya individu mampu melakukan penyesuaian diri dalam lingkungan tertentu (adaptasi).
3.
Kemampuan untuk mengubah diri
sendiri atau melakukan autocritisism, artinya individu mampu melakukan
perubahan atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya atau mampu
mengevaluasi dirinya sendiri secara objektif.
Tetapi Howard Gardner merumuskan
kecerdasan sebagai kemampuan menyelesaikan masalah atau menciptakan produk mode
yang merupakan konsekuensi dalam suasana budaya dan masyarakat tertentu. Ia
tidak memandang kecerdasan manusia berdasarkan skor tes standar semata, tetapi
lebih sebagai hal-hal berikut.
1.
Kemampuan menyelesaikan masalah
yang terjadi dalam kehidupan manusia
2.
Kemampuan menghasilkan
persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan
3.
Kemampuan menciptakan sesuatu atau
menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang.
Menurut Imam Malik, kecerdasan
pada awalnya hanya berkaitan dengan kemampuan struktural akal (intellect)
dalam menangkap gejala sesuatu, sehingga kecerdasan hanya bersentuhan dengan
aspek kognitif (al-majal al-ma’rifi). Tetapi dalam perkembangan
berikutnya disadari bahwa kehidupan manusia bukan memenuhi struktur akal saja
melainkan terdapat struktur kalbu yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk
menumbuhkan aspek-aspek afektif (al-majal al-infi’ali) seperti kehidupan
emosional, moral, spiritual dan agama.
C. Macam-macam Inteligensi
Secara garis besar, berdasarkan arah atau hasilnya,
inteligensi terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Inteligensi praktis ialah
inteligensi untuk dapat mengatasi situasi yang sulit dalam suatu kerja yang
berlangsung secara cepat dan tepat.
2.
Inteligensi teoritis ialah
inteligensi untik dapat mengadakan suatu pemikiran penyelesaian soal atau masalah
dengan cepat dan tepat.
Howard Gardner yang telah mengubah pandangan tentang
inteligensi merumuskan tujuh macam inteligensi yang dikenal dengan teori Multiple
Intelligence. Tujuh macam kecerdasan tersebut adalah kecerdasan musik,
kecerdasan gerakan badan, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan linguistik,
kecerdasan ruang, kecerdasan antarpribadi, dan kecerdasan intrapribadi. Dalam multiple
intelligence ini akan ditemukan kecenderungan jenis kecerdasan seseorang
karena multiple intelligence memiliki metode discovering ability.
Jika yang ditemukan adalah kelemahan dalam satu jenis kecerdasan maka harus
ditutup rapat-rapat, dan kemudian kita harus mempromosikan kemampuan atau
kelebihannya. Tentunya dalam menemukan kecerdasan ini seorang anak harus
dibantu oleh lingkungannya baik orang tua, guru, sekolah, maupun system
pendidikan di negaranya.
Sedangkan Safaria, menjelaskan bahwa ada 8 macam kecerdasan
yang dirumuskan oleh Gardner, yaitu 7 macam kecerdasan sebagaimana di
atas, ditambah dengan kecerdasan
naturalis (alam). Adapun penjelasan masing-masing kecerdasan tersebut adalah
sebagai berikut.
1.
Kecerdasan linguistik, adalah
kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun
tulisan. Orang yang cerdas dalam bidang ini dapat berargumentasi, meyakinkan
orang, menghibur, dan mengajar dengan efektif lewat kata-kata yang
diucapkannya. Mereka gemar membaca, dapat menulis dengan jelas, dan dapat
mengartikan bahasa tulisan secara luas.
2.
Kecerdasan logis-matematis,
kecerdasan dalam hal angka dan logika. Mereka mampu dalam hal penalaran,
mengurutkan, berpikir dalam pola sebab akibat, menciptakan hipotesis, mencari
keteratuaran konseptual atau pola numerik, dan pandangan hidupnya umumnya
rasional.
3.
Kecerdasan spasial, kecerdasan berpikir
dalam gambar, serta kemampuan untuk mencerap, mengubah dan menciptakan kembali
berbagai macam aspek dunia visual spasial. Orang dengan tingkat kecerdasan
spasial yang tinggi hamper selalu mempunyai kepekaan yang tajam terhadap detail
visualdan dapat menggambarkan sesuatu dengan begitu hidup, melukis atau membuat
sketsa ide secara jelas, serta dengan mudah menyesuaikan orientasi dalam ruang
tiga dimensi.
4.
Kecerdasan musikal, kemampuan
untuk menghargai dan menciptakan irama dan melodi, serta peka terhadap nada.
5.
Kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan
yang mencakup bakat dalam menegndalikan gerak tubuh dan keterampilan dalam
mengendalikan benda. Mereka adalah orang-orang yang cekatan, indera perabanya
sangat peka, dan tidak bisa tinggal diam.
6.
Kecerdasan antarpribadi atau
kecerdasan interpersonal, kemampuan untuk memahami dan bekerjasama dengan orang
lain. Mereka tanggap terhadap suasana hati, perangai, niat, dan hasrat orang
lain. Adapun dua tokoh psikologi inteligensi yang secara tegas menyatakan adanya
inteligensi interpersonal adalah Thorndike dan Gardner. Menurut teorinya
kecerdasan interpersonal atau sosial ini memliki tiga dimensi, yaitu:
a.
Social sensitivity atau
sensitivitas sosial, yaitu kemampuan untuk merasakan dan mengamati
reaksi-reaksi atau perubahan orang lain yang ditunjukkannya baik secara verbal
maupun non-verbal.
b.
Social insight, kemampuan
untuk memahami dan mencari pemecahan masalah yang efektif dalam suatu interaksi
sosial, sehingga masalah-masalah tersebut tidak menghambat apalagi menghancurkan
relasi social yang telah dibangun.
c.
Social communication atau
penguasaan keterampilan komunikasi social merupakan kemampuan individu untuk
menggunakan proses komunikasi dalam menjalin dan membangun hubungan
interpersonal yang sehat. Keterampilan komunikasi yang harus dikuasai adalah
keterampilan mendengarkan efektif, keterampilan berbicara efektif, keterampilan
public speaking, dan keterampilan menulis secara efektif.
7.
Kecerdasan intrapribadi atau
kecerdasan dalam diri sendiri, orang yang kecerdasan intrapribadinya sangat
baik dapat dengan mudah mengakses perasaannya sendiri, membedakan berbagai
macam keadaan emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri untuk memperkaya dan
membimbing hidupnnya. Mereka gemar belajar sendiri dan lebih suka bekerja sendiri
daripada bekerja dengan orang lain.
8.
Kecerdasan naturalis (alam), menunjukkan
kemampuan memahami gejala-gejala alam, ekologis, dan menunjukkan kepekaan
terhadap bentuk-bentuk alam misalnya anak memahami keterkaitan ekologis
binatang-binatang, siklus hidupnya, memahami kebiasaan hewan-hewan di alam liar,
dan merasa mempunyai ikatan batin dengan hewan-hewan. Orang yang memiliki
kecerdasan ini senang berada di lingkungan alam terbuka.
Teori Multiple
Intelligence ini kemudian ditambahkan oleh Daniel Goleman dengan Emotional
Intelligence. Goleman mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan
untuk memotivasi diri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan
hati dan tidak melebih-lebihan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga
agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta berempati dan
berdoa.
Menurutnya sebagaimana
yang dikutip oleh Hamzah dan Misri, faktor emosi ini sangat penting dan
memberikan suatu warna yang kaya dalam kecerdasan antarpribadi. Adapun wilayah
kecerdasan emosi antara lain:
1.
Kemampun mengenali emosi diri,
yaitu kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri saat perasaan
atau emosi itu muncul.
2.
Kemampuan mengelola emosi, yaitu
kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaannya sendiri sehingga tidak
meledak dan akhirnya dapat mempengaruhi perilakunya secara salah.
3.
Kemampuan memotivasi diri, yaitu
kemampuan memberikan semangat kepada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang
baik dan bermanfaat. Dalam hal ini terkandung unsur harapan dan optimisme yang
tinggi sehingga seseorang memiliki kekuatan semangat untuk melakukan aktivitas
tertentu.
4.
Kemampuan mengenali emosi orang
lain, yaitu kemampuan untuk mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain akan
merasa senang dan dimengerti perasaannya. Kemampuan ini sering disebut
kemampuan berempati, mampu menangkap pesan non-verbal dari orang lain.
5.
Kemampuan membina hubungan, yaitu kemampuan
untuk mengelola emosi orang lain sehingga tercipta keterampilan social yang
tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi lebih luas.
Penemuan kecerdasan
emosional menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang tidak semata-mata dipengaruhi
oleh prestasi akademisnya. Terutama setelah memasuki dunia kerja, mengembangkan
karir, dan hidup bermasyarakat, kemampuan seseorang dalam membina relasi dengan
orang lain dan kemampuan menempatkan diri dengan tepat, sangat mendukung
kesuksesannya. Bisa dikatakan bahwa dalam keberhasilan kehidupan seseorang, IQ
hanya berperan 20%, sedangkan 80%nya ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.
Utamanya, EQ-lah yang memberi kesadaran, yakni kesadaran diri (awareness)
yang merupakan kemampuan emosi paling penting untuk melatih swakontrol. EQ
menjadikan seseorang mampu mengenali, berempati, mencintai, termotivasi,
berasosiasi, dan menyambut keedihan dan kegembiraan secara tepat.
Menurut Goleman
sebagaimana yang dikutip oleh Ary Ginanjar Agustian, bahwa meningkatkan
kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan IQ. Umumnya IQ tidak berubah
selama kita hidup, tetapi kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja, sehingga
kecerdasan emosi dapat terus ditingkatkan sepanjang kita hidup. Ary Ginanjar
juga mengutip tulisan dari F. Scott Fitzgerald, yaitu “ukuran paling tepat
untuk menguji kecerdasan tingkat tinggi adalah kemampuan menyimpan dua gagasan
berlawanan dalam pikiran secara bersamaan, namun masih mempunyai kemampuan
untuk berfungsi.” Sesungguhnya ini masih bisa kita sederhanakan. Kecerdasan
tingkat tinggi memadukan EQ dan IQ, dan tidak hanya mempertahankan kemampuan
berfungsi, tetapi juga menjadikannya lebih hebat.
Perkembangan selanjutnya,
hadir teori kecerdasan yang diperkenalkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshall
yang disebut sebagai teori kecerdasan spiritual (Spiritual Intelligence).
Sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Ali bahwa kecerdasan spiritual adalah The
Ultimate Intelligence (puncak kecerdasan). Jika kecerdasan intelektual
disandarkan pada nalar, rasio dan intelektual, sementara kecerdasan emosional
disandarkan pada emosi, maka kecerdasan spiritual disandarkan pada kecerdasan
jiwa (the soul’s intelligence).
Zohar dan Marshall
mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan
hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan
dengan yang lain. Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak
umat manusia untuk “cerdas” dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang
dianggap benar, tetapi kecerdasan spiritual lebih merupakan suatu konsep yang
berhubungan dengan bagaimana seorang “cerdas” dalam mengelola dan
mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan
spiritualnya. Ditegaskan pula bahwa seorang yang taat beragama belum tentu
memiliki kecerdasan spiritual, karena seringkali mereka memiliki fanatisme,
eksklusivisme, intoleran terhadap pemeluk agama lain.
Perbedaan penting antara
kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual terletak pada daya ubahnya.
Kecerdasan emosi memungkinkan seseorang untuk memutuskan dalam situasi apa saya
berada lalu bersikap secara tepat di dalamnya. Ini berarti bekerja dalam
batasan situasi dan membiarkan situasi tersebut yang mengarahkan. Sedangkan
kecerdasan spiritual memungkinkan seseorang bertanya apakah seseorang itu
memang ingin berada pada situasi tersebut. Atau apakah lebih suka mengubah
situasi tersebut dan memperbaikinya. Ini berarti bekerja dalam batasan situasi
seseorang itu sendiri, yang memungkinkan orang tersebut mengarahkan situasi
itu.
Dengan melihat hubungan
kedua kecerdasan tersebut, Ary Ginanjar mengenalkan pada konsep ESQ yaitu Emotional
Spiritual Quotient yang
digambarkan seperti sebuah lingkaran.
Lingkaran terdalam (God
Spot) terletak pada Dimensi Spiritual di alam tak sadar. Lingkaran
kedua terletak pada Dimensi Psikis, alam prasadar. Dan pada lingkaran
terluar terdapat lima lingkaran kecil, dimana semuanya terletak pada area Dimensi
Fisik (IQ), alam sadar. Dimensi Psikis (EQ) atau Dimensi Fisik (IQ) semua
berada pada garis edar yang mengorbit pada titik sentral yang disebut Titik
Tuhan (SQ). Seperti gerakan Galaksi Bima Sakti (Milky Way), gerakan
Atom (Bohr), atau gerakan Jama’ah Haji mengelilingi Ka’bah, semua melakukan
thawaf sujud kepada Allah. Konsep ini dinamakan God Sentris. Berpusat
pada SQ.
Pada perkembangan
selanjutnya munculah kecerdasan transcendental. Secara bahasa transcendental
berarti sesuatu yang teramat penting, yaitu hal-hal yang di luar kemampuan
manusia biasa untuk memahaminya. Kecerdasan transcendental ini merupakan
kemampuan umat manusia secara individu dan kolektif untuk memahami dan
melaksanakan aturan-aturan Tuhan untuk mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan
di dunia dan akhirat.
Kecerdasan transcendental
ini bagi umat Islam adalah bermakna kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad saw, sebagai dua panduan hidup umat Islam. Hal ini ditegaskan oleh
Allah dalam firman-Nya:
سورة انزلنها
وفرضنها وانزلنا فيها ايت بينت لعلكم تذكرون
“(Ini adalah) satu Surat yang Kami Turunkan
dan Kami Wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami
Turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu mengingatnya.”(QS. An
Nur: 1)
D. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Inteligensi
Intelegensi orang satu
dengan yang lain cenderung berbeda-beda. Hal ini karena beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi tersebut adalah:
1.
Pembawaan
Pembawaan ini ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang
dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan kita adalah dapat tidaknya memecahkan
suatu soal. Pembawaan inilah yang ditentukan oleh orang tua kita. Meskipun
mendapat latihan dan perlakuan yang sama, tetapi hasilnya tetaplah berbeda.
2.
Kematangan
Kematangan ini berhubungan erat dengan umur. Kita tahu bahwa
tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan, baik itu
organ fisik maupun psikis. Suatu organ dikatakan matang jika ia mampu
menjalankan fungsinya masing-masing. Anak-anak tidak mampu memecahkan suatu
soal tertentu karena masih terlalu sukar baginya. Hal ini disebabkan karena
oragan-organ tubuhnya serta fungsi-fungsi psikisnya belum matang mengenai soal
itu.
3.
Pembentukan
Pembentukan merupakan segala hal yang berada di luar diri
seseorang yang dapat mempengaruhi inteligensi seseorang. Dalam hal ini
dibedakan kedalam dua pembentukan, yaitu pembentukan sengaja seperti yang
dilakukan di sekolah-sekolah, dan pembentukan tidak sengaja yang merupakan
pengaruh dari alam sekitar.
4.
Minat dan Pembawaan Khas
Minat dalam diri seseorang mengarahkan perbuatan pada suatu
tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan tersebut. Dalam diri manusia pun
sering kita tahu adanya motif-motif yang mendorong manusia berinteraksi dengan
dunia luar. Hal inilah yang lama-kelamaan menimbulkan minat pada suatu hal.
Suatu hal yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat
lebih giat dan lebih baik.
5.
Kebebasan
Kebebasan dalam hal ini berarti bahwa manusia itu boleh memilih metode
yang akan ia gunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Hal ini
juga berimplikasi bahwa manusia boleh memilih masalah sesuai dengan
kebutuhannya.
Kelima faktor diatas
saling mempengaruhi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Jadi, untuk
menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman atau berpatokan
kepada salah satu faktor saja.
E.
Aplikasi Inteligensi dalam
Pembelajaran
Ragamnya kecerdasan manusia (peserta didik) sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas berimplikasi pada pendidikannya, dalam hal ini yang
akan dibahas adalah pendidikan di sekolah. Proses pendidikan di sekolah tidak
bisa dilepaskan dari adanya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran tersebut,
strategi pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan kecerdasan peserta
didik. Berikut ini akan dipaparkan beberapa strategi pembelajaran untuk
berbagai jenis kecerdasan peserta didik.
1.
Strategi Pembelajaran untuk
Kecerdasan Linguistik
Sebenarnya strategi berikut terbuka untuk berbagai jenis
peserta didik karena menekankan kegiatan berbahasa terbuka yang dapat
membangkitkan kecerdasan linguistic dalam diri setiap peserta didik.
a.
Bercerita
Sebelum
menggunakan strategi ini kita harus menggabungkan konsep, gagasan dasar, dan
tujuan pengajaran menjadi sebuah cerita yang dapat kita sampaikan secara
langsung pada peserta didik. Cerita yang digunakan tidak harus orisinil atau
hebat, tetapi harus ada kesungguhan guru dalam berkreasi dan berbicara dengan
tulus kepada peserta didik tentangtopik tersebut.
b.
Curah gagasan
Aturan
umum dari curah gagasan adalah mengemukakan setiap gagasan relevan yang
melintas di benak, tidak menolak atau mengkritik gagasan yang dikemukakan dan
mempertimbangkan setiap gagasan.
c.
Merekam dengan Tape Recorder
Tape
Recorder bisa digunakan untuk berkomunikasi, memecahkan masalah,
mengemukakan pendapat pribadi, mengumpulkan informasi, wawancara dan
menyediakan informasi.
d.
Menulis jurnal pribadi
Jurnal
ini bisa berupa bidang yang luas dan terbuka dan juga dalam bentuk yang lebih
spesifik, misalnya pada mata pelajaran tertentu. Jurnal ini dapat dibuat sangat
pribadi yaitu hanya dibacakan dihadapan guru, atau bisa diceritakan di depan
kelas secara teratur.
e.
Publikasi
Mengirimkan
tugas tertulis yang dikumpulkan siswa ke majalah dinding kelas atau sekolah,
surat kabar kota, majalah anak-anak, atau media lain yang menerima tulisan
siswa. Bisa juga dipublikasikan melalui website sekolah.
2.
Strategi pembelajaran untuk
kecerdasan logis matematis
a.
Kalkulasi dan kuantifikasi
Strategi
ini dapat dimasukkan ke dalam semua mata pelajaran yang di dalamnya bisa
ditekankan masalah penghitungan, misalnya jumlah korban perang, nilai tukar
mata uang, dan kenaikan jumlah penduduk suatu Negara.
b.
Klasifikasi dan kategoris
Strategi
ini dapat dilakukan misalnya dengan cara guru meminta siswa mengelompokkan
wilayah berdasarkan iklimnya, atau mengelompokkan benda berdasarkan jenis
materinya (padat, cair, gas).
c.
Pertanyaan sokratis
Strategi
ini dinamakan pertanyaan sokratis karena dimodelkan oleh tokoh Yunani yaitu
Socrates, di mana beliau terlibat dalam pengujian hipotesis yang dibuat oleh
siswa untuk melihat ketajaman pemikirannya dan alasan yang digunakannya.
d.
Heuristic
Heuristik
melengkapi siswa dengan peta logis sehingga membantu mereka menemukan cara-cara
mereka sendiri dibidang akademis yang masih asing bagi mereka. Prinsip
heuristic meliputi mencari analohgi masalah yang akan dipecahkan, memilah-milah
suatu masalah, mengusulkan kemungkinan solusi masalah dan menelusurinya ke
belakang serta menemukan masalah yang berkaitan
dengan masalah yang dihadapi untuk kemudian memecahkannya.
e.
Penalaran ilmiah
Strategi
ini bisa diterapkan misalnya dengan cara guru meminta siswa untuk mencari
informasi tentang pengaruh perkembangan bom atom terhadap hasil perang dunia ke
II, atau informasi tentang efek rumah kaca. Siswa juga diminta untuk
mengungkapkan gagasan mereka apakah hal tersebut benar.
3.
Strategi pembelajaran untuk
kecerdasan spasial
a.
Visualisasi
Guru
mengajak siswa menciptakan “papan tulis mental” di benak siswa. Kemudian
mengajak siswa memejamkan mata dan membayangkan apa yang baru saja mereka
baca/pelajari.
b.
Penggunaan warna
Siswa
dapat menggunakan warna-warna yang berbeda untuk memberikan penekanan pada pola
peraturan atau klasifikasi selama proses belajar mengajar.
c.
Metafora gambar
Nilai
metafora ada pada pembentukan hubungan antara hal-hal yang sudah dipelajari
siswa dengan apa yang sedang diajakrkan.
d.
Sketsa gagasan
Contoh
dari strategi ini misalnya siswa menggambarkan poin kunci, gagasan utama, tema
central atau konsep dasar yang diajarkan.
e.
Symbol grafis
Strategi
ini dilakukan dengan menggambarkan konsep yang akan dipelajari dengan
menggunakan symbol. Misalnya mengilustrasikan tiga wujud benda dengan menggambar
benda padat(tanda cek tebal), benda cair (tanda lengkung tipis), dan benda gas
(titik-titik kecil).
4.
Strategi pembelajaran untuk
kecerdasan kinestetis
a.
Respon tubuh
Strategi
ini dilakukan dengan meminta siswa menanggapi pelajaran dengan menggunakan tubuh
mereka sebagai medium respon. Misalnya, siswa mengangkat tangan ketika mereka
telah dapat memahami apa yang telah diajarkan.
b.
Teater kelas
Meminta
siswa memainkan peran yang berhubungan dengan materi yang diajarkan. Misalnya
ketika pelajaran matematika yang mengharuskan pemecahannya menggunakan tiga
langkah, maka siswa memainkannya dengan drama tiga langkah.
c.
Konsep kinestetis
Strategi
ini bisa dilakukan dengan cara mengajarkan konsep kepada siswa melalui
ilustrasi fisik maupun meminta mempantomimkan konsep atau istilah mata
pelajaran tertentu. Kegiatan ini menuntut kemampuan siswa menerjemahkan
informasi dari system linguistic atau symbol logis menjadi ekspresi yang
sepenuhnya kinestetis-jasmani.
d.
Hands of Thinking
Strategi
ini diartikan sebagai berpikir yang dstimulasikan dengan tangan. Hal ini bisa
dilakukan dengan cara pembuatan miniature rumah gadang pada waktu pelajaran
sejarah.
e.
Peta tubuh
Salah
satu contoh pengngunaan tubuh adalah dengan menggunakan jari pada pelajaran
matematika (sempoa). Dengan menggunakan gerakan fisik ini untuk
mempresentasikan proses atau gagasan tertentu, secara bertahap siswa akan
menginternalisasikan proses atau gagasan tersebut.
5.
Strategi pembelajaran untuk
kecerdasan interpersonal
a.
Berbagi rasa dengan teman sekelas
Strategi
ini salah satunya bisa dilakukan dengan meminta siswa menceritakan materi
pelajaran yang baru saja dia pelajari kepada teman di sebelahnya. Waktu
bercerita antara 30 menit sampai 1 jam. Hal ini bisa dikembangkan menjadi
mengajari teman sebaya.
b.
Formasi patung dari orang
Strategi
ini bisa digunakan untuk menggambarkan/mempresentasikan bentuk fisik suatu
gagasan, konsep atau tujuan pembelajaran. Strategi ini dapat mengangkat proses
belajar dari konteks teoritisnya yang abstrak dan segera menempatkannya di
tatanan social yang dapat dijangkau dengan mudah.
c.
Kerja kelompok
Dalam
kerja kelompok ini masing-masing anggota bisa diberikan tugas-tugas yang
berbeda-beda. Jumlah anggota kelompok akan maksimal jika terdiri dari 3 sampai
8 orang.
d.
Board games
Dalam
strategi ini siswa menggunakan papan permainan untuk mempelajari suatu materi. Papan
permainan bisa dibuat dari kertas manila, spidol warna, dadu dan alat-alat
permainan lainnya.
e.
Simulasi
Simulasi
ini melibatkan sekelompok orang yang secara bersama-sama menciptakan lingkungan
“serba-seadanya”. Tatanan seperti ini memper-siapkan suasana agar ada kontak yang lebih langsung dengan
materi yang dipelajari. Misalnya ketika mempelajarai materi tentang kerajaan
Majapahit guru meminta siswa memerankan tokoh-tokoh yang berada di dalamnya.
6.
Strategi pembelajaran untuk
kecerdasan intrapersonal
Strategi yang
lebih cocok untuk kecerdasan intrapersonal adalah strategi sesi refleksi satu
menit. Hal ini dilakukan dengan memberikan waktu bagi para siswa untuk mencerna informasi yang mereka terima dan
menghubungkannya dengan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan mereka.
Berbagai strategi di atas
hanyalah sebagian dari strategi-strategi lain yang bisa dikembangkan oleh guru
ketika menyampaikan materi jika ingin didasarkan pada pengembangan kecerdasan
siswanya yang memiliki multiple intelligences.
F. Kesimpulan
1.
Pengertian inteligensi adalah kemampuan untuk
mengarahkan pikiran atau mengarahkan tindakan (goal-setting), kemampuan
untuk mengubah arah tindakan apabila tindakan tersebut telah dilaksanakan (bila
dituntut demikian), (adaptasi), kemampuan untuk mengubah diri sendiri
atau melakukan autocritisism, kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
terjadi dalam kehidupan manusia, kemampuan untuk menghasilkan
persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan, dan kemampuan untuk menciptakan
sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya
seseorang.
2.
Macam-macam inteligensi yang muncul mulai
diperkenalkannya konsep Multiple Intelligence sampai era sekarang
adalah:
a.
Kecerdasan linguistic
b.
Kecerdasan logis-matematis
c.
Kecerdasan spasial
d.
Kecerdasan musikal
e.
Kecerdasan
kinestetik-jasmani
f.
Kecerdasan interpersonal
g.
Kecerdasan intrapribadi
h.
Kecerdasan naturalis
i.
Kecerdasan emosi
j.
Kecerdasan spiritual
k.
Kecerdasan transendental
3.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan seseorang antara lain:
a.
Faktor bawaan
b.
Faktor minat dan pembawaan
yang khas
c.
Faktor pembentukan
d.
Faktor kematangan
e.
Faktor kebebasan
4.
Aplikasi inteligensi
dalam pembelajaran
Macam-macam
inteligensi dapat diterapkan dalam pembelajaran dengan menggunakan berbagai
macam strategi yang cocok untuk masing-masinng kecerdasan tersebut.
Strategi-strategi tersebut antara lain:
a.
Strategi untuk
kecerdasan linguistik
1)
Bercerita
2)
Curah gagasan
3)
Merekam dengan tape
recorder
4)
Menulis jurnal
5)
Publikasi
b.
Strategi untuk kecerdasan
matematis-logis
1)
Kalkulasi dan
kuantifikasi
2)
Klasifikasi dan
kategoris
3)
Pertanyaan sokratis
4)
Heuristik
5)
Penalaran ilmiah
c.
Strategi untuk
kecerdasan spasial
1)
Visualisasi
2)
Penggunaan warna
3)
Metafora gambar
4)
Sketsa gagasan
5)
Simbol grafis
d.
Strategi untuk kecerdasan
kinestetis
1)
Respon tubuh
2)
Teater kelas
3)
Konsep kinestetis
4)
Hands of thinking
5)
Peta tubuh
e.
Strategi untuk
kecerdasan interpersonal
1)
Berbagi rasa dengan
teman sekelas
2)
Formasi patung dari
orang
3)
Kerja kelompok
4)
Boards games
5)
Simulasi
f.
Strategi untuk kecerdasan
intrapersonal adalah sesi refleksi satu menit.
Daftar Rujukan:
Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun
Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta:
Arga, 2005.
Ali, Mohammad, Pendidikan untuk Pembangunan
Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi, Jakarta:
Grasindo.
Armstrong, Thomas, Seven Kinds of Smarts: Menemukan
dan Meningkatkan Kecerdasan Anda berdasarkan Teori Multiple Intelligence, terj.
T. Hermaya, Jakarta: Gramedia, 2002.
Chatib, Munif, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis
Multiple Intelligences di Indonesia, Bandung: Kaifa, 2009.
D., Ratna Sulistami, & Erlinda Manaf Mahdi, Universal
Intelligence: Tonggak Kecerdasan Untuk Menciptakan Strategi dan Solusi Menghadapi
Perbedaan, Jakarta: Grasindo.
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya:
Diponegoro.
Gardner, Howard, Kecerdasan Majemuk, terj.
Alexander Sindoro, Tangerang: Interaksara, 2013.
Goleman, Daniel, Kecerdasan Emosional, ter. T. Hermaya,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
http://www.psikologizone.com/faktor-yang-mempengaruhi-intelegensi/06511548, diakses tanggal 2 Oktober 2012.
Malik, Imam, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta:
Teras, 2011.
Safaria, T., Interpersonal Intelligence: Metode
Pengembangan Kecerdasan Interpersonal Anak, Yogyakarta: Amara Books, 2005.
Saleh, Abdul Rahman, dan Muhbib Abdul Wahab, Psikologi
Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Syahmuharnis dan Harry Sidharta, Trancendental
Quotient, Jakarta: Republika, 2006.
Uno, Hamzah B., & Masri Kuadrat, Mengelola
Kecerdasan dalam Pembelajaran: Sebuah Konsep Pembelajaran Berbasis Kecerdasan, Jakarta:
Bumi Aksara, 2009.
Uno, Hamzah B., Orientasi Baru dalam Psikologi
Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta:
Andi, 2004.